Temaram mulai turun menyelimuti kampung kami. Tersiar kabar ada pesta pernikahan malam nanti di kacamatan seberang. Warda, putri Pak Kades yang konon bunting bersamaan dengan sapi bapaknya itu akan dinikahkan dengan Ancu, putra tunggal juragan beras paling tersohor kaya raya di kacamatan kami, anak muda itulah yang membikin perut Warda buncit tanpa meminta izin terlebih dahulu pada kedua orangtua mereka.
Odding dan Oddang, saudara kembar berusia 12 tahun yang paling lebar senyumnya ketika telinga mereka disusupi kabar itu. Belakangan anak-anak muda di kampung kami mendadak girang dan selalu menunggu ada orang yang akan segera menikah.
"Mudah-mudahan besok ada lagi gadis yang bunting di kampung kita" celetuk Odding yang siang itu membantu saya membetulkan kandang ayam peliharaan Ibuku.
"Amin...." sambut Oddang yang sibuk memandikan ayam.
"Memangnya kenapa kalau ada gadis yang bunting?" tanyaku.
"Wah, Boraq.... makanya jangan merantau terus.... kita sekarang ada hiburan baru, penari telanjang. Namanya Candoleng-Doleng!" sambung Odding.
Candoleng-Doleng adalah istilah dalam bahasa bugis yang artinya menggelantung.
"Apanya yang menggantung?" tanyaku.
"P*Tin*nya!" jawab Odding.
Temaram dileburkan kegelapan. Ada yang berbeda kini dengan acara pesta pernikahan di kampung kami. Acara pernikahan sekarang dua jam lebih cepat dipadati pengunjung ketimbang beberapa tahun lalu. Suara para biduanita organ tunggal kini seperti mengandung sihir yang membuat para penonton betah duduk berlama-lama meski mereka masih membawakan lagu-lagu qasidah; Perdamaian, Di Balik Kerudung, Anak Bertanya Pada Bapaknya. Padahal dulunya, pada jam opening penyambutan para undangan yang diisi lagu-lagu islami macam itu biasanya tak menarik minat anak-anak muda. Tetapi sekarang mereka tampak rela jongkok berjam-jam dengan wajah khusyuk di sekitar panggung --Di sisi panggung, di bawah pohon pisang, dan di bawah pohon kakao. Sepertinya keram di lutut mereka tak menyurutkan semangat untuk menunggu aksi sporadik para biduanita di atas panggung.
Saya duduk di deretan kursi paling depan. Persis di muka panggung. Kebetulan Ibu saya mendapat undangan pernikahan anak Pak Kades malam itu. Jarum jam di pergelangan saya menunjuk angka 19.30. Para biduanita di atas panggung masih tampak anggun dibalut busana Muslimah menembangkan lagu-lagu penyejuk iman. Saya mulai jengah menunggu. Saya memutuskan keluar dari tribun pesta hendak membeli rokok. Setibanya saya di warung penjual rokok yang terletak di seberang jalan, si Bapak pemilik warung menolak lembaran uang Rp. 50.000 yang saya sodorkan.
"Maaf tidak ada uang kembalian, uang seribuan saya habis ditukar sama anak-anak muda buat saweran nanti," kata si bapak itu. Saya lalu memutuskan mencari warung di tempat lain.
Beberapa lama saya menghabiskan berbatang-batang rokok di Pos Ronda, Subhanallah, Odding dan Oddang muncul di depan saya dengan nafas yang memburu akibat kelelahan mengayuh sepeda. Jarak yang mereka tempuh untuk sampai ke pesta pernikahan ini kurang lebih 15 KM dari kampung kami.
"Boraq, tadi kami mampir di rumahmu ternyata kau sudah ada di sini," sahut Oddang.
"Ayo kita bareng masuk ke pesta," kataku.
"Nanti sajalah, jam 11 Candoleng-Doleng dimulai, kita duduk di sini saja dulu," ujar Odding. Agaknya kedua sahabat kecil saya itu sudah hafal betul seluk beluk Candoleng-Doleng.
Pukul 23.00 saya masih di temani Odding dan Oddang duduk menikmati rokok di Pos Ronda itu. Sayup-sayup dari arah pesta pernikahan mulai terdengar hentakan musik House Music. Odding dan Oddang segera melompat turun dari Pos Ronda dan berlari menuju pesta tanpa memedulikan keselamatan sepedanya yang lupa mereka gembok di tiang Pos Ronda itu. Saya menyusul mereka. Setibanya di sana, saya mengamati para biduanita di atas panggung --yang tadi berbusana Muslimah-- kini mengenakan busana seraba minim, memamerkan pusar, belahan dada, dan semua lekuk tubuh mereka yang sebetulnya tak terlihat seksi karena perut yang bergelambir. Mereka menari-nari layaknya orang kesetananan terphipnotis alunan musik Disco yang tak putus-putus mendentum memekakkan telinga. Pemandangan di atas panggung berukuran 3x4 itu layaknya menayangkan cuplikan film bokep. Ada yang nungging bak anjing betina mengundang syahwat, ada yang berputar-putar serupa baling-baling helikopter, ada yang kayang seumpama penari balet tak lolos audisi, ada pula yang jungkir balik ke sembarang arah seperti kunfu amatiran.
Beberapa anak muda yang merubung panggung separuhnya berasal dari kampung kami. Odding dan Oddang duduk di deretan kursi paling belakang. Sementara deretan sofa paling depan yang tadi diisi para pejabat Kabupaten kini di duduki oleh para bapak-bapak yang sebagian kukenal sudah berstatus haji namun spesial malam itu songkok haji mereka di museumkan dulu di rak lemari. Mereka tampak terkekeh-kekeh tanpa rasa malu sedikitpun memamerkan gigi ompongnya menyaksikan gelora muda yang ditebarkan para biduanita di atas panggung.
"Buka! Buka! Buka! Buka! Candoleng-doleng! Candoleng-doleng!" koor para penonton. Yang diteriaki mahfum, saatnya telah tiba untuk menyambut hujan duit. Ririn Safitri yang paling cantik diantara mereka mulai menanggalakan bajunya, disusul kutangnya. Kini ia hanya menggunakan kutang dari tangannya sendiri yang sesekali ia singkap sepersekian detik. Aksi Ririn itu berhasil membuat para kucing garong di depan panggung semakin keras ngeongnya....Ririn semakin binal ketika mulai rintik hujan duit seribuan dari arah depan dan samping. Biduanita yang lain tak mau tinggal diam. Mereka pun mulai beraksi yang tak biasa. Amanda Rahayu tak kalah panas, ia membuka resleting celana pendeknya yang ketat itu dan terlihatlah sesuatu yang mendebarkan jantung para penonton. Amanda memasukkan ujung microfon ke celah resleting celananya lantas menggesek-gesek keluar masuk, maka terdengarlah riuh suara para penonton layaknya lolongan srigala malam melihat hantu. Penonton semakin merengsek ke bibir panggung. Hujan duit seribuan makin deras malam itu mengguyur para biduanita yang kini setengah bugil.
Sesungguhnya suara para penyanyi itu tak merdu-merdu amat mirip bunyi kaleng susu yang diseret di jalanan beraspal. Dari pengakuan crew organ tunggal itu saya menemukan kenyataan bahwa gadis-gadis itu pada awalnya tidak memiliki keterampilan bernyanyi. "Sebagian dari mereka adalah PSK yang diberdayakan jadi biduan, Pak. Kami latih mereka bernyanyi, bisa sedikit saja maka dia kami ikutkan pentas," tutur crew itu kepada saya. "Sekarang suara bukan yang utama tapi goyangannya. Kita bakal gulung tikar kalau hanya menjual suara biduan saja," sambungnya lagi.
Ironis memang, honor Rp. 50.000 sekali manggung sangat bisa menjadi alasan bagi mereka untuk melakukan hal-hal ganjil di atas panggung. Pukul 01.00 aksi striptis ala kampung itu pun berakhir. Benar kata Bang Rhoma: Pesta Pasti Berakhir!
Ketika saya pulang menunggangi motor, di tengah perjalanan saya melintasi Odding dan Oddang yang tengah berboncengan menggunakan sepeda.
"Sampai jumpa besok di kandang ayam Ibumu, Boraaaaaaq........!" teriak Odding.
Kedua sahabat kecil saya itu melambaikan tangan ke arah saya dengan senyum puas nan bahagia.
Kalau Komentar FACEBOOK tidak muncul
Tekan F5 di keyboard kamu